Negara-negara di seluruh dunia saat ini masih berusaha merumuskan strategi yang paling tepat dalam mengatasi penyebaran pandemi Covid-19.  Sampai dengan  10 Mei, 2020, Covid-19 ini telah menyebar di 212 negara, menginfeksi lebih dari 4.1 juta orang dan menyebabkan kematian lebih dari 280 ribu nyawa.

Tentu akan lebih mudah jika satu negara bisa begitu saja mengaplikasikan strategi yang dilakukan oleh negara lain yang lebih berhasil mengendalikan pandemi ini, seperti Jerman, Taiwan dan Selandia Baru. Namun setiap negara tentunya memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga kebijakan yang dibutuhkan juga berbeda. Secara umum negara-negara di dunia terbelah dalam dua mazhab penanganan Covid-19: satu kutub cenderung lebih menerapkan lockdown, dan kutub yang lain dengan pendekatan yang lebih fleksibel, yaitu social distancing. Tentu beberapa negara menerapkan mix-policy atau kombinasi di anatara keduanya.

Jika kita melakukan post-assessment sampai dengan saat ini, bisakah kita menilai pilihan kebijakan apa yang kelihatan lebih efektif?

Dalam ranah ilmu ekonomi dan statistik, terdapat suatu metode penelitian yang disebut sebagai "treatment effect" -merujuk pada suatu cara pembandingan hasil intervensi suatu kebijakan berdasarkan kesamaan karakteristik dari dua obyek yang diamati (Todd, 2010). Cara mudahnya adalah, ketika kita dihadapkan dengan dua pasien dengan jenis penyakit yang sama, penyakit penyerta yang sama (comorbidity) , usia dan ras yang sama untuk kemudian diberikan dua jenis dosis obat untuk efektifitas pengobatan.

Tentu dalam prakteknya membandingkan dua negara yang betul-betul sama adalah mustahil. Namun dalam melakukan pembandingan:  lockdown dan social distancing ini Denmark dan Swedia bisa dijadikan sebagai contoh yang memiliki kesamaan cukup dekat.

Dari sisi ukuran kedua negara berbeda. Luas area Denmark hanya sepersepuluh dari Swedia. Namun, jika Kepulauan Faroe dan Greenland dimasukkan sebagai dua wilayah otonom Kerajaan Denmark, kedua negara ini memiliki cakupan luas yang hampir sama.

Perbandingan yang lebih relevan berkaitan dengan luasan ibu kota karena Covid-19 terkait dengan pembatasan pergerakan penduduk. Ibukota Swedia, Stockholm, dihuni oleh 910.000 penduduk pada 2016 dengan kepadatan populasi 4.800 orang per kilometer persegi. Sebaliknya, Kopenhagen dihuni oleh 583.000 penduduk dengan kepadatan penduduk sedikit lebih besar dari 6.800 orang per kilometer persegi.

Kedua ibu kota ini memiliki heterogenitas penduduk yang hamper sama. Sekitar 27% penduduk Stockholm adalah imigran berlatar belakang non-Swedia. Kelompok pendatang asing terbesar adalah Finlandia, Irak, dan Iran. Sebaliknya di Kopenhagen,  sekitar 73% adalah penduduk asli Denmark, selebihnya adalah pendatang dari Pakistan, Turki, Irak, dan Polandia.

Struktur PDB kedua negara relatif sama dengan porsi 70% sektor sektor jasa. Indicator-indikator sosial-ekonomi seperti PDB per kapita, utang per kapita, persentase pengeluaran anggaran dalam bidang pertahanan, indeks korupsi, dan peringkat sumber daya manusia kedua negara relatif sama. Proporsi populasi lansia sebesar 20% juga identik. Juga dengan tingkat kematian akibat bunuh diri.

Dari aspek konektivitas, bandara Kopenhagen Kastrup melayani kurang lebih empat juta penumpang lebih banyak dibandingkan dengan bandara Stockholm Arlanda. Namun demikian terdapat tiga bandara tambahan di Stockholm (Bromma, Skavsta dan Vasteras) dehingga jumlah total penumpang keluar masuk dari dan ke dua ibu kota Scandinavia ini sangat identik. Pada tahun 2019,  Stockholm dan Denmark melayani sekurangnya 30 juta orang penumpang.

Bagaimana kedua negara tersebut secara kontras berbeda dalam mengatasi persebaran Covid-19?

Denmark adalah salah satu negara pertama di Eropa yang menutup perbatasannya sejak 13 Maret 2020. Otoritas terkait menutup aktifitas pendidikan (universitas, sekolah dan taman kanak-kanak), kafe dan restoran serta melarang semua social gathering yang melibatkan lebih dari sepuluh orang. Sebagai gantinya, proses belajar mengajar dilakukan dengan cara virtual. Pegawai sektor pemerintahan tetap tinggal dan melayani masyarakat dari rumah.

Sebagai buah dari kebijakan ini, jumlah total pasien yang dirawat di UGD menurun tajam sejak awal April.  Bahkan mulai 13 April anak-anak sampai dengan umur 11 tahun (usia TK dan SD) telah memulai proses pembelajaran secara normal. Dengan kata lain, Denmark adalah salah satu negara Eropa pertama yang melakukan penutupan areanya (lockdown) dan menjadi salah satu negara pertama pula secara gradual melonggarkan kebijakan lockdown tersebut. Jika semua skenario berjalan dengan baik, pemerintah akan segera membolehkan restoran untuk beroperasi 30% dari kapasitas tempat duduk dengan syarat mereka memiliki akses teras yang terbuka.  Hotel juga sudah bisa menerima pemesanan selama mereka dapat menjaga beberapa syarat kesehatan.

Berbeda dengan tetangganya, Swedia mengambil cara yang lebih fleksibel yaitu “social distancing” dan menjurus kepada herd immunity. Strategi ini memungkinkan penyebaran virus untuk bisa terhenti secara natural dengan membangun  kekebalan dari dalam tubuh masyarakat sendiri.  Swedia tidak menutup perbatasan dengan lockdown yang ketat. Pun, sekolah, bar atau entitas bisnis masih dibiarkan terbuka. Sebagai gantinya, mereka mendorong masyaakat untuk mengikuti aturan-aturan social distancing, pembatasan kerumumnan lebih dari 50 orang, serta pembatasan mobilitas untuk penduduk usia lansia.

Sebagai perbandingan dari hasil kedua kebijakan di atas: per 8 Mei 2020, pasien yang pulih di Denmark hampir dua kali lipat lebih banyak daripada di Swedia. Jumlah kematian di Denmark hanya 522 atau kurang dari 17% di Swedia. Bahkan jika kita memperhitungkan jumlah populasi nya, tingkat kematian di Denmark hanya sebesar 89 per 1 juta orang dibandingkan dengan 310 per satu juta orang di Swedia.

Indikator perekoniomian juga menunjukkan hasil yang menarik. The Purchasing Managers Index (PMI) yang menggambarkan arah tren ekonomi di sektor manufaktur dan jasa justru terlihat lebih stabil di Denmark selama dan setelah relaksasi kebijakan lockdown. PMI di Denmark memamg menyentuh angka sangat rendah sebesar 48 pada Maret dan turun menjadi 38 pada April 2020. Namun Swedia mencatat angka yang lebih rendah lagi sebesar 43 pada Maret dan 37 pada April.  PMI sendiri dapat mencerminkan sentimen sektor riil terhadap masa depan perekonomian. Di sektor keuangan dan pasar modal, berdasarkan data Bloomberg, fluktuasi indeks harga saham di OMX Copenhagen 20 Index hanya 4.1% selama Maret-April dibandingkan dengan 4.7% di Stockholm.

Dapat disimpulkan bahwa Denmark memiliki performa perekonomian setidaknya sama dengan Swedia -atau malah lebih baik-  selama pandemi ini dengan keunggulan pengontrolan dan mitigasi persebaran Covid-19 dengan angka fatalities yang jauh lebih rendah.

Pembelajaran untuk  Indonesia tentu tidak serta merta menyimpulkan adopsi satu kebijakan dibandingkan dengan alternatif kebijakan yang lain namun lebih pada   regulasi yang seharusnya dibuat dengan jelas dan konsisten. Indonesia tidak bisa secara serta-merta merelaksasi aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tanpa dasar data kurva epidemi Covid-19 yang teruji.  Apalagi jika penerapan aturan PSBB tersebut juga tidak pernah dijalankan dengan ketat dengan adanya berbagai eksepsi. Harus pula disadari bahwa dengan infrastruktur kesehatan yang saat ini masih sangat terbatas dimana Indonesia hanya memiliki empat dokter / 10.000 populasi dibandingkan dengan Korea (24) dan Singapura (23), pandemi bisa semakin buruk jika menyebar ke kota-kota kecil  dengan kesiapan fasilitas kesehatan yang lebih terbatas.

 

Oleh: Ibrahim Kholilul Rohman dan Hasib Ahsan

Kembali